Pages - Menu

Sabtu, 12 April 2014

Hubungan Syari'ah dan Tasawuf



     PENDAHULUAN

         Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran-ajaran seperti ini terdapat dalam Tasawuf.
     Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan Tasawuf akan tetapi kegiatan Tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyaembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
     Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabatnya. Mereka meneladani kehidupan Rasulullah dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah dan hidup zuhd. Mereka ini lebih dikenal dengan dengan sebutan Ahl al-shuffah. Kelompok inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal munculnya kaum shufi. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata tashawwuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Eropa, sofa. Tasawuf  dan tarekat terus berkembang  dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, baik pada periode klasik, pertengahan, maupun modern. Pada periode pertengahan, wilayah Nusantara sudah  ikut mengembangkan Tasawuf mulai dari Aceh, Palembang, Demak, Mataram dan lain-lain. Kemudian di wilayah Pekalongan, Jawa. Tengah munculah tarekat Budhiah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Rifa’I, terekat ini berkembang sampai sekarang.
     Pada dasarnya Tasawuf bersifat bati sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah. Syari’ah merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran-ajaran mengenai akhlak Islam. Aspek lahir (syari’ah) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan sehingga antara syari’ah dan tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.
    
                                                   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Syari’ah

        Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma  ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal)  maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang individual dan kolektif. 
        Dalam arti ini,  al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya. (Akidah, Akhlak dan Fikih).
Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih.




B.     Pengertian Tasawuf
        Secara etimologis tasawuf berasal dari kata Shuffah ( serambi tempat duduk ), Shaf ( barisan ), Shafa : bersih atau jernih, Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, Shuf (bulu domba).
       Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, antara lain yaitu :

        Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.

        Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).
        Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.

        Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
 
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
        Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.



C.    Current Issue

       Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalaan yang dapat membawa mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan  dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan.
        Meskipun secara tekstuual tidak ditemukan ketentuan agar umat islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf teah dilakukan Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali ergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengaingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yan sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebeneran yang disertai dengan melakukan  banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
        Mereka meneladani kehidupan Rasulullah dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah dan hidup zuhd. mereka ini lebih dikenal dengan sebutan Ahl Al-Shuffah. Bahkan ada teori yang menyatakan, bahhwa asal usul kata tasawuf diambil dari kata shuffah yang kemudian ditransfer kedalam bahasa Eropa, Sofa. Tasawuf dan tarekat terus berkembang dan tersebar diberbagai wilayah dunia Islam, baik pada periode klasik, pertengahan, maupun modern.
        Pada dasarnya tasawuf bersifat batin sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah. Syari’ah merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil  bentuk shalat, puasa, zakat, haji, dan ajaran-ajaran mengenai akhlak islam.

D.    Aspek Tasawuf
     A. Maqamat
        Tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim dapat berada    dekat dengan Allah SWT sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang Muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan Maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari Maqam. Menurut Al-Thusi, maqam adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh dari kerja keras dalam beribadah (Al-’Ibadat), kesungguhan menghadapi hawa nafsu (Al-Mujahadat), latihan-latihan kerohanian (Al-Riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (Al-Inqitha’ Illa Allah).

B. Ahwal
      Ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang Shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah.
Senada dengan Al Thusi, Al-Qusyairi mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Sedangkan maqamat meupakan hasil usaha.
Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara Maqamat dan Ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertawian satu sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan Ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun demikian, jika diamati lebih cermat Muqamat dan Ahwal bukanlah dua Kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukkan suatu konsep kedalam kategori Muqamat, sementara penulis lain memasukkannya kedalam kategori Ahwal. Dikalangan Ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan Maqamat berbeda bagi Shufi yang satu dengan Shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniyah yang ditempuh oleh masing-masing Shufi. Meskipun para Ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah Maqamat, namun secara umum Maqamat itu meliputi : Al-Taubat, Al-zuhd, Al-Wara’, Al-Faqr, Al-Shabr, Al-Tawakkul, dan Al-Ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut :
1.      Maqam Taubat, disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
2.      Maqam Zuhd, yaitu mengasingkan dirir dari dunia ramai.
3.      Maqam Wara’, yaitu meninggalkan ha-hal yang syuhbhat.
4.      Maqam Faqr, yaitu hidup sebagai seorang fakir.
5.      Maqam shabr, yaitu harus sabar menghadapi cobaan yang menimpanya.
6.      Maqam Tawakkul, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Maqam Ridha, yaitu ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga dia tidak memihak suatu apapun kecuali ridah-Nya
Seorang calon Shufi yang mampu menempuh Maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Artinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan dia hanya menuju kehadirat Allah semata, didalam hatinya hanya rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Untuk itu biasanya seorang shufi menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikir, Tafakkur dan banyak beribadah kepada Allah, maka dia pun diberi anugerah oleh Allah, yaitu dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai disini bererti seorang shufi telah mencapai tingkat Ma’rifat. Sesuai dengan ungkapan imam Ghazali bahwa Ma’riat adalah melihat atau mengetahui rahasi-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).


E.     Hubungan Syari’ah dan Hukum
        Menurut sebagian ulama, syariah dan tasawuf merupakan 2 ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karna ke duanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam.Syariah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin keduaanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek  lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan, sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
        Ungkapan diatas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, seperti pendapat Ibn ‘Ujaibat  dan pendapat Imam Malik. Pendapat-pendapat umala diatas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak dapat dipindahkan.  Kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya.     
        Di sini timbul pertanyaan : Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf ? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Akhmad Amin, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
         Pada dasarnya al- Qur’an  dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan bathin. Namun dalam perkembangannya selanjutnya syari’ah  yang mengandung kedua spesialisasnya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir,sedangkan ilmu bathin dikembangkan ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syariah yang menggambil bentuk fiqih cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an dan hadits untuk membuat ketetpan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa(dzaug) dalam menggamalkan al-Qur’an dan al-hadits.
           Menurut keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu –ilmu agama Islam : Ilmu kalam (tauhid), yang berkaitan dengan kaidah, ilmu fiqh yang berkaitan dengan tindakan  lahiriyah, ilmu tasawuf yang berkaitan dengan psikis.
          Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam tersebut sangat  menguntungkan , akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh (kafir mengkafirkan)  atau saling tuduh menuduh  dikalangan umat Islam sendiri.
Barangkali atas dasar inilah para ulama yang telah disebutkan diatas bermaksud untuk memadukan kembali antara syari’ah dan tasawuf.
                                              
                                             








                                    PENUTUP dan KESIMPULAN

       Berdasarkan uraian dimuka, dapat disimpulkan bahwa syari’ah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat, karena tasawuf ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
   1. Ajaran yang menekankan aspek akhlak baik dalam hubungan antara manusia
 dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.
      2. Ajaran diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu syari’ah.
      3. Ajaran tidak mengandung syathabat yang dipandang telah menyimpang dari
    ajaran Islam menurut ulama syari’ah.
      4. Dalam tasawuf sunni masih telihat secara jelas perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud,
    serta antara Kholiq dan makhluk.

       Dalam pada itu terlihat bahwa syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Tuhan baik berupa ittihad, hulul, wahdat al-wujud maupun yang sejenisnya. Menurut pandangan syari’ah, kemanunngalan antara manusia dan Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah Dzat yang wajib adanya, Maha Sempurna, dan bersifat qodim, sedangkan manusia (makhluk) adalah mungkin adanya, tidak sempurna, dan bersifat hadits. Oleh karena itu, mustahil terjadi kemanunggalan antara manusia dan Tuhan. Barangkali inilah yang menjadi landasan ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf tersebut.