PENDAHULUAN
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membuat mereka
lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat tuhan dengan hati
sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran-ajaran seperti ini
terdapat dalam Tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan
ketentuan agar umat Islam melaksanakan Tasawuf akan tetapi kegiatan Tasawuf
telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah
berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya
disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang
hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyaembahan berhala, juga untuk merenung
dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak
berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para
sahabatnya. Mereka meneladani kehidupan Rasulullah dan membaktikan hidup mereka
demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada yang sangat tekun beribadah
dan hidup zuhd. Mereka ini lebih dikenal dengan dengan sebutan Ahl al-shuffah.
Kelompok inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal munculnya kaum shufi.
Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa asal usul kata tashawwuf diambil dari
kata shuffah yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Eropa, sofa. Tasawuf dan tarekat terus berkembang dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam,
baik pada periode klasik, pertengahan, maupun modern. Pada periode pertengahan,
wilayah Nusantara sudah ikut
mengembangkan Tasawuf mulai dari Aceh, Palembang, Demak, Mataram dan lain-lain.
Kemudian di wilayah Pekalongan, Jawa. Tengah munculah tarekat Budhiah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Rifa’I, terekat ini berkembang sampai sekarang.
Pada
dasarnya Tasawuf bersifat bati sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah.
Syari’ah merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil
bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran-ajaran mengenai akhlak Islam.
Aspek lahir (syari’ah) dan aspek batin (tasawuf) tidak dapat dipisahkan
sehingga antara syari’ah dan tasawuf memiliki keterkaitan yang sangat erat.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syari’ah
Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang
berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin
(sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal)
yang individual dan kolektif.
Dalam arti ini, al-syariah identik dengan din,
yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam,
tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya. (Akidah, Akhlak
dan Fikih).
Sedang dalam
arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku
individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian
ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih.
B. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis tasawuf berasal dari
kata Shuffah ( serambi tempat duduk ), Shaf ( barisan ), Shafa : bersih atau
jernih, Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir, Shuf
(bulu domba).
Sedangkan menurut terminologis pun,
tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, antara lain yaitu :
Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).
Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).
Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan
tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran,
terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan demikian dapat disimpulkan
secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan
kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan
memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah,
sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
C.
Current Issue
Berbagai upaya
dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalaan yang
dapat membawa mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat
Tuhan dengan hati sanubari, bahkan
merasa bersatu dengan Tuhan.
Meskipun secara tekstuual tidak
ditemukan ketentuan agar umat islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan
tasawuf teah dilakukan Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia
telah berulang kali ergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan.
Tujuannya disamping untuk mengaingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yan
sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk
merenung dalam rangka mencari hakekat kebeneran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga
jiwanya menjadi semakin suci.
Mereka meneladani kehidupan Rasulullah
dan membaktikan hidup mereka demi kepentingan agama. Bahkan diantara mereka ada
yang sangat tekun beribadah dan hidup zuhd. mereka ini lebih dikenal
dengan sebutan Ahl Al-Shuffah. Bahkan ada teori yang menyatakan, bahhwa
asal usul kata tasawuf diambil dari kata shuffah yang kemudian
ditransfer kedalam bahasa Eropa, Sofa. Tasawuf dan tarekat terus berkembang dan
tersebar diberbagai wilayah dunia Islam, baik pada periode klasik, pertengahan,
maupun modern.
Pada dasarnya tasawuf bersifat batin
sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’ah. Syari’ah merupakan ajaran
Islam yang tersimpul dalam ibadah yang mengambil bentuk shalat, puasa, zakat, haji, dan
ajaran-ajaran mengenai akhlak islam.
D.
Aspek Tasawuf
A. Maqamat
Tasawuf mempelajari cara dan jalan
bagaimana seorang Muslim dapat berada
dekat dengan Allah SWT sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri
sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang Muslim harus menempuh perjalanan panjang
yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan Maqamat, yang
merupakan bentuk jamak dari Maqam. Menurut Al-Thusi, maqam adalah kedudukan
seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh dari kerja keras dalam beribadah (Al-’Ibadat),
kesungguhan menghadapi hawa nafsu (Al-Mujahadat), latihan-latihan
kerohanian (Al-Riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga
semata-mata untuk berbakti kepada Allah (Al-Inqitha’ Illa Allah).
B.
Ahwal
Ahwal adalah suasana yang menyelimuti
kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang Shufi karena ketulusannya dalam
mengingat Allah.
Senada
dengan Al Thusi, Al-Qusyairi mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi
pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan
jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Sedangkan maqamat meupakan hasil usaha.
Ahwal
adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan
seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan
demikian, antara Maqamat dan Ahwal terdapat perbedaan yang tajam.
Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang
bertingkat dan memiliki pertawian satu sama lain yang apabila telah
tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi
yang telah melampauinya. Sedangkan Ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas
hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun
demikian, jika diamati lebih cermat Muqamat dan Ahwal bukanlah dua Kategori
yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukkan suatu
konsep kedalam kategori Muqamat, sementara penulis lain memasukkannya kedalam
kategori Ahwal. Dikalangan Ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal
ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan Maqamat berbeda bagi Shufi yang satu
dengan Shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya
perbedaan pengalaman rohaniyah yang ditempuh oleh masing-masing Shufi. Meskipun
para Ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah Maqamat, namun
secara umum Maqamat itu meliputi : Al-Taubat, Al-zuhd, Al-Wara’, Al-Faqr,
Al-Shabr, Al-Tawakkul, dan Al-Ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara
singkat digambarkan sebagai berikut :
1.
Maqam Taubat,
disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa
kecil.
2.
Maqam Zuhd,
yaitu mengasingkan dirir dari dunia ramai.
3.
Maqam Wara’,
yaitu meninggalkan ha-hal yang syuhbhat.
4.
Maqam Faqr,
yaitu hidup sebagai seorang fakir.
5.
Maqam shabr,
yaitu harus sabar menghadapi cobaan yang menimpanya.
6.
Maqam Tawakkul,
yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Maqam
Ridha, yaitu ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga dia tidak memihak
suatu apapun kecuali ridah-Nya
Seorang
calon Shufi yang mampu menempuh Maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka
hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Artinya tidak
lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan dia hanya menuju kehadirat
Allah semata, didalam hatinya hanya rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Untuk
itu biasanya seorang shufi menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikir,
Tafakkur dan banyak beribadah kepada Allah, maka dia pun diberi anugerah
oleh Allah, yaitu dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga
mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai disini bererti
seorang shufi telah mencapai tingkat Ma’rifat. Sesuai dengan ungkapan imam
Ghazali bahwa Ma’riat adalah melihat atau mengetahui rahasi-rahasia Allah
(Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).
E.
Hubungan
Syari’ah dan Hukum
Menurut sebagian ulama, syariah dan tasawuf
merupakan 2 ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karna ke duanya merupakan
perwujudan kesadaran iman yang mendalam.Syariah mencerminkan perwujudan
pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan
pengalaman iman pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin keduaanya
tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan,
sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan diatas senada dengan
pendapat-pendapat ulama lain, seperti pendapat Ibn ‘Ujaibat dan pendapat Imam Malik. Pendapat-pendapat
umala diatas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi
dan al-Ghazali. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa antara syariah dan tasawuf
terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak dapat dipindahkan. Kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh
adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya.
Di sini timbul
pertanyaan : Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf ? Padahal
antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Akhmad
Amin, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal
lahiriyah, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan
amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-
Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu
lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada
mulanya juga mengandung ilmu lahir dan bathin. Namun dalam perkembangannya
selanjutnya syari’ah yang mengandung
kedua spesialisasnya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu
lahir,sedangkan ilmu bathin dikembangkan ilmu tasawuf atau ilmu hakikat.
Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan
oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syariah yang
menggambil bentuk fiqih cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam
membahas dalil al-Qur’an dan hadits untuk membuat ketetpan hukum, sedangkan
tasawuf cenderung menggunakan rasa(dzaug) dalam menggamalkan al-Qur’an dan
al-hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak
abad ketiga Hijriyyah ilmu –ilmu agama Islam : Ilmu kalam (tauhid), yang
berkaitan dengan kaidah, ilmu fiqh yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah, ilmu tasawuf yang berkaitan dengan
psikis.
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu,
maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam tersebut sangat menguntungkan , akan tetapi jika dilihat dari
segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup
meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan
polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling
tuduh menuduh (kafir mengkafirkan) atau
saling tuduh menuduh dikalangan umat
Islam sendiri.
Barangkali atas
dasar inilah para ulama yang telah disebutkan diatas bermaksud untuk memadukan
kembali antara syari’ah dan tasawuf.
PENUTUP
dan KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dimuka,
dapat disimpulkan bahwa syari’ah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
tasawuf sunni, yakni tasawuf yang hanya sampai pada batas ma’rifat, karena
tasawuf ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
1. Ajaran yang menekankan aspek akhlak
baik dalam hubungan antara manusia
dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.
dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya.
2. Ajaran diselaraskan sepenuhnya dengan pertimbangan ilmu
syari’ah.
3. Ajaran tidak mengandung syathabat yang dipandang telah
menyimpang dari
ajaran Islam menurut ulama syari’ah.
ajaran Islam menurut ulama syari’ah.
4. Dalam tasawuf sunni masih telihat secara jelas
perbedaan antara ‘abid dan Ma’bud,
serta antara Kholiq dan makhluk.
serta antara Kholiq dan makhluk.
Dalam
pada itu terlihat bahwa syari’ah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan
untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Tuhan baik berupa ittihad,
hulul, wahdat al-wujud maupun yang sejenisnya. Menurut pandangan syari’ah,
kemanunngalan antara manusia dan Tuhan mustahil terjadi, karena Tuhan adalah
Dzat yang wajib adanya, Maha Sempurna, dan bersifat qodim, sedangkan manusia
(makhluk) adalah mungkin adanya, tidak sempurna, dan bersifat hadits. Oleh
karena itu, mustahil terjadi kemanunggalan antara manusia dan Tuhan. Barangkali
inilah yang menjadi landasan ulama syari’ah untuk menolak ajaran tasawuf
tersebut.